![]() |
ilustrasi Sumpah Kutukan |
Aku tidak pernah benar-benar mengerti, mengapa Bolaang Mongondow menjadi seperti sebuah mainan yang dipuja, dielus bahkan diagung-agungkan oleh mereka yang katanya begitu peduli dan cinta kepadanya.
Aku tidak pernah menemukan apapun yang mampu menegaskan bagaimana aku akan memiliki pengetahuan yang utuh tentang Bolaang Mongondow.
Bahwa sesungguhnya Bolaang Mongondow adalah tanah kelahiranku, tempat aku pertama kali mengenali leluhurku, orang tuaku, saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku dan di Bolaang Mongondow pula aku pertama kali mengenali musuh-musuhku.
Jika engkau menapaki ruas-ruas jalan, memasuki hutan-hutan, mendaki bukit dan pengunungan kau akan tahu, bahwa Bolaang Mongondow bukanlah tanah tandus bukanlah tempat matinya makhluk hidup. Bolaang Mongondow bukan wilayah gersang, orang-orangnya tak mati, hanya saja selalu menjadi arena perang bagi mereka-mereka yang haus darah kekuasaan.
Semua gagasan akan hadir di sini, di tanah ini. Mereka menyebutnya tanah leluhur, lipu' mogoguyang, tanah para tetua. Seluruh cita-cita pernah digantungkan di wilayah ini, tapi pada akhirnya lebur berbaur mengepul bersama asap rokok, uap kopi, bau aspal proyek, gesekan amplop para koruptor, hingga hutang-hutang para senior.
Kita tidak sedang membicarakan tentang kekejaman, kejayaan ataupun keindahan. Kita hanya akan berbincang tentang rasa yang semakin datar yang semoga tak mengkristal di air tawar.
Aku tidak ingin berucap bahwa penghormatan kami lenyap dalam sekejap, secepat para raja menerima bingkisan kuasa dipangkuan mereka, lalu menggantinya dengan emas-emas buah dari berharganya Bolaang Mongondow.
Aku takut silau kekuningan itu membutakan batinmu dan menutupi pikiranmu. Pada raga dan jiwamu lekatlah seluruh kemewahan itu, tumpah ruah, ikut bersanding di deretan gagasan-gagasan palsu tentang spiritualitas, sejarah masa lalu dan penyembahan khusyukmu pada leluhur.
Kami atau mungkin aku, lupa pada seluruh pengetahuan yang membuat aku mengetahui seluruh tingkahmu. Bolaang Mongondow tidak dicipta dari dosa seorang perawan yang hamil diluar nikah. Ia bukan hasil perjuangan ngobrol panjang di warung kopi. Ia bukan hasil kesepakatan raja-raja dan Bolaang Mongondow bukan hadiah dari penjajah.
Kami lahir. menyebut diri Mongondow, tegak di tanah ini, menempuh keyakinan agama kami dalam Kuasa Kitogi, hidup dari apa yang dikuasakan alam kepada kami, menaruh rendah hati di hadapan Sang Pemberi, membuka pintu bagi segala niat baik manusia diluar kami.
Segalanya akan mampu kami beri, prinsip kami menjamu yang datang sebaik ini. Silahkan... Tapi jangan lupa diri.
Bolaang Mongondow, rasanya terlalu mudah percaya, ketika mulut-mulut lantang berucap harga diri digadaikan, pembangunan dijalankan, pendidikan disiapkan, pemerintahan dibereskan dan pada akhirnya tekanan dan makian yang dihasilkan.
Lalu nama apa yang pantas kami ajukan? Wahai para penikmat Bolaang Mongondow, duduk melingkar disebuah meja, sembari mengumbar cita, cerita hingga derita. Sebutan apa yang kau ajukan? Untuk Bolaang Mongondow? Tanah Leluhur? Totabuan? Lipu' Mogoguyang? Negeri Bogani? Kerajaan? atau apa? Tak yang cocok? Sudahlah Bolaang Mongondow tak butuh sebutan, karena ia hanyalah serpihan dari sejarah yang moksa, lalu sempat perkasa tapi tidak pernah berkuasa.
Lalu mengapa kau masih gemar menggantung harapan, mencari penghidupan, merampas makan dengan pengkhianatan? Pada Bolaang Mongondow yang tetap diam, berdoa untuk kebaikan dan perjuangan meski selalu berujung penderitaan.
Kalian dikutuk.....
oleh ; RH
oleh ; RH
1 komentar:
go Arema, buktikan AREMA bisa !
Posting Komentar