![]() |
Sebuah
cuplikan narasi dalam katalog dgn judul, "Titik Sambung, Tiga Karakter,
Tiga Warna: Connecting Points, Three Characters, Three Colors" (2015).
"Peristiwa tragedi nasional menimbulkan masa
kevakuman dan kegelisahan para pelukis untuk dapat berbuat dalam mengisi
kehidupan dunia seni lukis dan pertumbuhan dunia budaya pada umumnya. Setelah
persitiwa tragis tahun 1965-an, denyut kehidupan seni rupa Medan tahun 1967
merupakan titik awal kebebasan kreativitas, dimana para pelukis berbuat untuk
menampilkan kemandiriannya tanpa adanya lembaga yang dinaungi oleh partai
politik."
...
"Gagasan dan cita-cita ini mendapat sambutan yang baik dan prakarsa ini dimotori oleh Letjend. A.Y. Mokoginta (Panglima Koanda-Komando Antar Daerah) lahirlah wadah seni tari (Yayasan Melati), Seni Musik (Orsim) dan wadah seni rupa (SIMPASSRI). Dipilih sebagai ketua adalah Ir. Zulkifli Katib dan sekretaris Arif Husin Siregar."
"Gagasan dan cita-cita ini mendapat sambutan yang baik dan prakarsa ini dimotori oleh Letjend. A.Y. Mokoginta (Panglima Koanda-Komando Antar Daerah) lahirlah wadah seni tari (Yayasan Melati), Seni Musik (Orsim) dan wadah seni rupa (SIMPASSRI). Dipilih sebagai ketua adalah Ir. Zulkifli Katib dan sekretaris Arif Husin Siregar."
Informasi itu secara singkat menggambarkan posisi dan
salh satu peran A.Y. Mokoginta di Medan dalam suasana Kemelut Politik tahun
1965. Di sumber lain, Mokoginta disebut sebagai sosok jenderal yang sangat
hati-hati bertindak, sehingga persitiwa di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali
pasca Tragedi 1965, tidak mewabah di Sumatra Utara. Meskipun Sumatra Utara
(dulu Sumatra Timur), sudah sejak jaman kolonial, menjadi pusat konsentrasi
modal yang subur menjadi basis gerakan komunis. Sebuah film dokumenter, 'The
Act of Killing' (2012), dengan setting Medan, yang pernah ramai diperbincangkan
beberapa tahun yang lalu, perlu dijadikan perbandingan juga.
Salam.
Sumardi Arahbani
Posting Komentar