Pendidikan    Sosial    Budaya    Sejarah    Sastra    Cerita Rakyat    Puisi    Tokoh    Wisata    Kuliner   
Home » » PENDIDIKAN MERDEKA, INDONESIA MERDEK

PENDIDIKAN MERDEKA, INDONESIA MERDEK


Pendidikan Gratis Hanya Jadi Impian 
Refleksi pendidikan di tanah Air tidak lepas dari dua kekuatan melawan kolonialisme dan imperialisme negara - negara yang ingin menguasai Indonesia. Dua kekuatan yakni kekuatan tenaga dan senjata serta kekuatan pendidikan. Kenyataan ini tidak lepas dari perjuangan dalam gerakan para pahlawan yang rela berjuang demi kebebasan Nusantara
Founding fathers kita sudah menyadari buruknya penjajahan sejak mereka mulai berkesempatan duduk di bangku sekolah pada masa itu. Namun, kondisi terjajah tak membuat mereka berdiam diri, melainkan memanfaatkan apa yang mereka punya untuk terus memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan.
Tokoh yang konsisten mengusung kemerdekaan diantaranya seperti Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo (tiga serangkai), Bung Karno, Bung Hatta, dan Tan Malaka adalah mereka yang konsisten untuk memakai pola yang kedua melalui Gerakan pendidikan. Perjuangan mereka akhirnya terbayar dengan manis, ketika Indonesia berhasil menggusur kolonialisme dan imperialisme dari Bumi Pertiwi dan menjadi negara yang sepenuhnya merdeka pada 17 Agustus 1945. Sekali para founding fathers menjadikan pendidikan sebagai media dalam menyadarkan Rakyat tentang sistem penjajahan yang sudah dilakukan dari dari lintas generasi sebelumnya.
Pendidikan yang dijadikan “senjata Intelektual ” dalam merebut kemerdekaan, beserta kisah founding fathers yang tetap semangat bersekolah dengan segala keterbatasan dan situasi penjajahan.  Kisah ini memang menjadi memori yang sungguh heroik. Sayangnya, apa yang mereka alami ketika kolonialisme masih menjajah, justru tidak terlihat di Nusantara yang sudah berumur 71 tahun saat ini.
Dalam konteks Realita, hari ini pendidikan mengalami banyak hambatan sehingga sangat berkorelasi dengan Kualitas pendidikan. Sehingga dalam titik konklusi kita memandang pendidikan di Indonesia masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan,
(8). Inkonsisten dalam penyusunan kurikulum
(9). Kebijakan pendidikan yang tak jelas dan selalu berubah dan
(10). Kriminalisasi guru.
Menariknya permasalahan - permasalahan ini selalu kita jumpai dalam setiap periode pergantian pimpinan bangsa. Sehingga dalam nalar kita yang terbatas ini, banyak menimbulkan pertanyaan "Negara sengaja mengabaikan Pendidikan ?". Padahal dalam sejarah kemerdekaan, pendidikan sangat memiliki andil dalam merebut kebebasan dari tangan penjajah.
Selain itu dukungan regulasi sistem Pendidikan dalam Tujuan pendidikan Nasional dapat yaitu :
(1). Tujuan Pendidikan Nasional dalam UUD 1945 (versi Amandemen)
- Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
- Pasal 31, ayat 5 menyebutkan, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”
(2). Tujuan Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003
- Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
(3). Tujuan Pendidikan Menurut UNESCO
- Dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa, tidak ada cara lain kecuali melalui peningkatan mutu pendidikan. Berangkat dari pemikiran itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization) mencanangkan empat pilar pendidikan baik untuk masa sekarang maupun masa depan, yakni: (1) learning to Know, (2) learning to do (3) learning to be, dan (4) learning to live together. Dimana keempat pilar pendidikan tersebut menggabungkan tujuan-tujuan IQ, EQ dan SQ.(sumber : arsip Hukum Nasional)
Dalam permasalahan lokal (kabupaten Bolaang Mongondow) yang kaya akan Potensi sumber daya Alam, seharusnya pendidikan menjadi pilar utama dalam rekomendasi   pengolahan setiap tahapan  (eksplorasi dan ekploitasi) agar hasil yang diperoleh bernilai  dan berkontribusi secara akademisi. Selain itu,  rekonstruksi kultur budaya harus melekat  pada proses pendidikan dalam menjaga warisan dan tradisi leluhur melalui pendekatan kearifan lokal ( local wisdom). Sehingga segala persoalan pendidikan dan Budaya orang Mongondow Dapat diafiliasi (bukan asimilasi). Karena pada prinsipnya awal sejarah orang Mongondow bukan kelompok orang nomaden melainkan sedenter melalui bukti tanah dan budaya leluhur saat ini.

Rekonstruksi kultur budaya pada prinsipnya sepaham dengan aliran perennialisme yang  memilih cara sendiri, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan “regressive road to culture” yang dianggap paling ideal dengan jalan berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok tertinggi dalam kehidupan umat manusia. Untuk mencapai tujuan itu, rekonstruksi ini berusaha mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan baru pada seluruh lingkungannya melalui pendidikan tanpa meninggalkan nilai budaya.
Fenomena akhir - akhirny ini, seharusnya pendidikan wajib menjadi “sahabat” yang memerdekakan bukan menjadi penjara bagi banyak anak didik. Tan Malaka sendiri pernah mengatakan, “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan". Seandainya Tan Malaka masih hidup Maka beliau menangis melihat kondisi tujuan Pendidikan saat ini yang sudah menjadi barang komersial. Pendidikan dianggap hanya bagi mereka yang mampu (mahal), menimbulkan ketakutan, penurunan kualitas serta pendidikan adalah hal yang praktis, cenderung mengabaikan proses.
Mungkin kita kembali bertanya Ada apa sebenarnya di Republik ini ?
Ada istilah “orang miskin dilarang sakit”, begitu pula dalam pendidikan, “orang miskin dilarang sekolah”. Negara seolah mengaminkan mahalnya pendidikan, dengan bersembunyi di balik alasan “peningkatan kualitas”. Misalnya, melalui pengesahan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang sebenarnya mirip dengan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Pada akhirnya, cukup wajar jika pendidikan di Indonesia telah menjadi sebuah barang komersial, yang hanya berorientasi kepada keuntungan. Alih-alih untuk mencerdaskan peserta didik, pendidikan justru menjadi mesin pengeruk uang yang masif.
Di lain keadaan, tidak sedikit anak-anak yang mampu merasa terpenjara harus mengikuti kemauan orang tuanya dalam menentukan jenjang dan tempat bersekolah atau kuliah. Banyak orang tua ketakutan kalau anaknya kelak sulit mencari pekerjaan dengan jurusan pilihannya. Ini tentunya membuat peserta didik menjadi terpenjara selama menjalani pendidikan. Padahal pendidikan itu, sekali lagi bertujuan membebaskan seseorang dari kebodohan serta rasa tidak percaya diri. Ujung - ujungnya, tidak sedikit mahasiswa/i yang gagal paham dengan tujuan kuliah, “supaya menghasilkan uang yang banyak dan gengsi keluarga”. Padahal pemaknaan pendidikan seharusnya tidak sesempit itu.
Menjamurnya lembaga - lembaga pendidikan sebagai lahan bisnis baru di dunia pendidikan. Memiliki kecenderungan lebih mengutamakan kepraktisan cara belajar  ketimbang proses. Selain itu, ada pula persoalan akut lainnya, masih adanya kekakuan tenaga-tenaga pengajar yang enggan dikritik atau adu argumen dengan anak didik di kelas sehingga sikap otoriter dalam Kelas menjadi kebiasaan.
Pendidikan mampu mempunyai makna untuk membangun kedewasaan serta keberanian berpikir serta memutuskan sesuatu. Pemaknaan ini yang kemudian akan mendorong lahirnya kemajuan -kemajuan baru. Tidak hanya bagi diri sendiri namun juga bangsa ini. Sehingga anggapan pemaknaan pendidikan saat ini krisis integritas, orientasi materi dan degradasi nilai kita tanggalkan dalam dunia pendidikan.

Akhirnya tugas generasi sekarang mengingat kembali semangat perjuangan melalui gerakan pendidikan dan sebagai regulator implementasi  pendidikan untuk diri sendiri serta lingkungan sekitar bahwa pendidikan semestinya memerdekakan dan bukan menjadi penjara. Jika kita mampu mewujudkan pendidikan yang memerdekakan, kita tidak akan pernah merasa terjajah lagi.

Merdeka !!!

PENDIDIKAN MERDEKA, INDONESIA MERDEKA
(Oleh : Budiardjo Mamonto,  S.Si / Mahasiswa S2 Pascasarjana UNIMA)

SHARE :
CB Blogger

Posting Komentar

 
Copyright © 2016 ,. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template Creating Website and CB Blogger Create by Jagowebsite