Pendidikan    Sosial    Budaya    Sejarah    Sastra    Cerita Rakyat    Puisi    Tokoh    Wisata    Kuliner   

,

A.Y. MOKOGINTA DAN KEMELUT 1965 DI MEDAN



Sebuah cuplikan narasi dalam katalog dgn judul, "Titik Sambung, Tiga Karakter, Tiga Warna: Connecting Points, Three Characters, Three Colors" (2015).
"Peristiwa tragedi nasional menimbulkan masa kevakuman dan kegelisahan para pelukis untuk dapat berbuat dalam mengisi kehidupan dunia seni lukis dan pertumbuhan dunia budaya pada umumnya. Setelah persitiwa tragis tahun 1965-an, denyut kehidupan seni rupa Medan tahun 1967 merupakan titik awal kebebasan kreativitas, dimana para pelukis berbuat untuk menampilkan kemandiriannya tanpa adanya lembaga yang dinaungi oleh partai politik."
...
"Gagasan dan cita-cita ini mendapat sambutan yang baik dan prakarsa ini dimotori oleh Letjend. A.Y. Mokoginta (Panglima Koanda-Komando Antar Daerah) lahirlah wadah seni tari (Yayasan Melati), Seni Musik (Orsim) dan wadah seni rupa (SIMPASSRI). Dipilih sebagai ketua adalah Ir. Zulkifli Katib dan sekretaris Arif Husin Siregar."
Informasi itu secara singkat menggambarkan posisi dan salh satu peran A.Y. Mokoginta di Medan dalam suasana Kemelut Politik tahun 1965. Di sumber lain, Mokoginta disebut sebagai sosok jenderal yang sangat hati-hati bertindak, sehingga persitiwa di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali pasca Tragedi 1965, tidak mewabah di Sumatra Utara. Meskipun Sumatra Utara (dulu Sumatra Timur), sudah sejak jaman kolonial, menjadi pusat konsentrasi modal yang subur menjadi basis gerakan komunis. Sebuah film dokumenter, 'The Act of Killing' (2012), dengan setting Medan, yang pernah ramai diperbincangkan beberapa tahun yang lalu, perlu dijadikan perbandingan juga.
Salam.
Sumardi Arahbani

SERI KEBUDAYAAN II : ADAT PERKAWINAN


Pakaian Perkawinan Bolaang Mongondow
Adat Perkawinan

Setiap rencana perkawinan diatur oleh orang tua. Anak masih patuh pada keinginan orang tua. Seorang pemuda yang sudah dewasa diberi bekal ketrampilan oleh orang tuanya, sebagai persiapan memasuki jenjang perkawinan, berupa ketrampilan mengolah sagu hutan, berburu, memasak garam (modapug), dan lain-lain. Bila sudah cukup persiapan, orang tua akan memberi tahu calon isteri dari keluarga tertentu. Diadakanlah musyawarah antara keluarga kedua belah pihak. Dan pada saat yang baik, calon suami disertai kaum keluarga membawa hasil-hasil olahan calon suami menuju ke rumah calon isteri. Perkawinan diresmikan dan direstui orang tua kedua belah pihak bersama sanak saudara, maka resmilah perkawinan itu.

Cara perkawinan sebelum Mokodoludut

Menurut Penuturan Bapak B. Gilalom dari desa Poyowa Besar, yang pada saat itu wawancara tgl 5 Pebruari 1977 telah berusia 75 tahun, bahwa sebelum Mokodoludut sebagai Tompunu'on pertama, maka kehidupan masyarakat masih sangat sederhana. Belum ada perbedaan tingkatan (kasten) atau golongan antara raja, keturunan raja (kohongian), simpal, nonow, tahig, yobuat, seperti yang diadakan pada masa raja Tadohe. Sistem perkawinan masih sangat sederhana, belum ada pembayaran maskawin (yoko' atau tali') oleh orang tua pihak lelaki kepada orang tua pihak wanita. Aabila seseorang pemuda yang sudah dewasa, dalam arti sudah cukup umur untuk memasuki jenjang perkawinan, maka orang tua, dalam hal ini ayah, ibu atau paman memberi petunjuk tentang apa yang akan dilakukan sebagai persiapan membentuk rumah tangga baru. Pada waktu itu belum dikenal istilah guman (meminang). Seorang pemuda yang hendak menikah, menyampaikan niatnya kepada orang tua, sekaligus memberi tahu gadis yang hendak di nikahinya. Maka orang tua memberi petunjuk dengan contoh sebagai berikut : " Ikolom I iko maya' monginkayu, yo kayu tatua in dikabi' dia'anmu kom baloi na'a, pobaya' bi' im baloi tatuata kong ginamu mako pobuloion (= besok kamu pergi meramu kayu api, kayu itu jangan kamu bawa ke rumah ini, bawa ke rumah dimana tujuan hatimu hendak menikahinya).Mo I baya' mangoy ki intatuata, ukatonmu monag ing kayu. Kayu ki inta tuata ing kinota'auanmudon kon tuata ing ko gadi' kom bobai, o aidanea I modungu' (= tiba disana kau letakkan kayu itu. Kayu itu seperti yang kamu ketahui, disana ada anak gadis, kerjaanya adalah memasak). Noponik monik ta tuata, iko in nodia kong kayu, imbalu'ondon ing guranga, I lolaki andeka bobai, yo baya'don ukat kon abu. Yo aka inabatan mangoi im bobai tatua niatonmu pobuloion, bo no ibog in sia no podungu', mangalenya no ibog in sia ko inimu. Tonga' bi' tua." (= setelah naik engkau membawa kayu api, disapa oleh orang tua laki-laki atau perempuan, letakkanlah didapur. Apabila disambut oleh gadis yang hendak kau nikahi, lalu ia suka menggunakan memasak, berarti ia telah menerima engkau. Hanya itu.
Na'a in no ibog in sia bo sinarimadon I ina'nya bo I ama'nya. Dapotea kai monia : polat bidon mogutun kita tou motolu adi' 
(= sekarang ia suka dan telah diterima oleh ibunya dan ayahnya, selanjutnya mereka mengatakan : kita langsung tinggal bersama anak beranak). Setelah kedua anak muda itu tinggal bersama dan disahkan sebagai suami isteri baru, selanjutnya mereka akan mempersiapkan hal-hal yang diperlukan bagi kehidupan rumah tangga (mopoto olut). Kedua suami isteri yang baru itu pergi menyiapkan antara lain : monontandai (membuat buluh air), moponik ko mama'an (memanjat pinang),moponik kon obuyu' (memanjat sirih). Waktu petang mereka pulang, isteri berjalan di depan menyandang buluh air, suami berjalan di belakang memikul tandan pinang dan bungkusan sirih, karena sirih dan pinang itu akan di mamah oleh ayah dan ibu mertua. Pada hari-hari berikutnya, kedua suami isteri itu pergi momolit (menangkap ikan disungai dengan alat bobolit, yaitu anyaman bilah-bilah bambu), atau monikop (menangkap ikan di sungai). Bila ada hasilnya, dibawa ke rumah diletakkan didepan ayah dan ibu mertua. Beberapa hari kemudian mereka pergi mogibol (mengolah sagu hutan). Walaupun hasilnya hanya sedikit, tetapi harus dibawa pulang sebelum matahari terbenam. Karena bila dibawa pulang sesudah matahari terbenam, maka menurut kepercayaan, sejak saat itu dan seterusnya, hasil olahan sagu akan tetap tidak mencukupi. Juga menjadi kewajiban suami baru untuk pergi modapug, yaitu memasak garam di pantai. Mereka yang tinggal di pedalaman, tentu saja akan meninggalkan isteri dan orang tua. Walaupaun persediaan garam di rumah masih cukup. Tetapi si menantu mohon restu kedua orang tua (mertuanya) untuk pergi modapug. Maka yang harus dibawa pulang adalah : garam, ikan masak yang dimasukkan dalam kayad, yaitu ruas bambu yang ditutup dengan daun enau, serta kapur sirih. Disamping itu, juga membawa lokan laut yang kelak akan dibakar, bila persediaan kapur sirih sudah habis. Semuanya ini merupakan kesepakatan yang sudah ditetapkan bersama. Karena hasil-hasil olahan yang dibawa pulang itulah yang merupakan yoko' atautali', semacam maskawin pada zaman lampau. Cara pembayaran maskawin dengan piring antik, kain antik (sikayu), dan sebagainya adalah pengaruh spanyol. Pendatang bangsa Spanyol waktu itu pernah membawa seorang pemuda penduduk asli yang kuat fisik, gagah berani dan perkasa bernama Antong, dikawinkan di Spanyol. Setelah ia kembali ke sini, mereka membayar Yoko', semacam pemberian berupa piring antik, sikayu dan lain-lain kepadanya.
Perkawinan sejak masa Tadohe
Setelah adanya pembagian tingkatan (kasten) oleh Tadohe (Sadohe), mulai ada pembayaran maskawin dengan nilai yang berbeda-beda menurut tingkatan golongan, yaitu : mododatu, kohongian, simpal, nonow, tahig, yobuat. Mula-mula masih ada persamaan bagi desa-desa, namun lama kelamaan terjadi perbedaan disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat melalui kesepakatan antara keluarga yang berniat mengawinkan anak. Tentang tinggi rendah atau besar kecilnya nilai yoko' ditetapkan menurut kesepakatan antara keluarga kedua belah pihak. Walaupun sudah ditetapkan dalam adat, tapi masih dapat dirubah menurut musyawarah dan mufakat, karena ketentuan dalam adatpun adalah hasil kesepakatan bersama antara pemerintah (kinalang) dan rakyat (paloko). Bila kesepakatan adat itu tidak dilaksanakan dengan sewajarnya, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sesuai odi-odi, yaitu semacam sumpah untuk mengkokohkan hasil kesepakatan bersama. Mereka yang tidak mematuhi ketentuan adat, akan mengalami hal-hal seperti antara lain : modara-darag na' kolawag (menjadi kuning seperti kunyit), tumonop na' lanag (meresap seperti air cucuran atap),rumondi' na'buing (menjadi hitam seperti arang), dan lain-lain.

Cara peminangan :

Apabila misalnya pemuda dari golongan simpal hendak meminang gadis kohongian (yang lebih tinggi tingkatannya), maka taba' yaitu telangkai, seorang yang mewakili keluarga pihak keluarga pihak pemuda untuk meminang, biasanya menggunakan bahasa kiasan, umpamanya : "Aka kuma bo ayu'on in indoi iput I mata kon tosingogon inta kodia-dia mangoi na'a yo tonga' mokisukur kon dega' oyu'on bi' in yindoi iput I mata" (= jika sekiranya ada pandangan penerimaan dengan ekor mata tentang ucapan yang hendak kami sampaikan ini, maka kami brsyukur atas penerimaan walaupun hanya dengan ekor mata). Peminangan biasanya disampaikan oleh seorang taba’ yaitu seorang yang diutus oleh keluarga pihak laki-laki. Setelah ada penerimaan oleh pihak keluarga wanita, maka keluarga pihak laki-laki bermusyawarah untuk lebih menguatkan kesungguhan peminangan, bahwa peminangan telah disampaikan dengan sungguh, bukan hanya dengan setengah hati. Maka keluarga pihak laki-laki bersama ayah dan ibu calon pengantin pria, menuju ke rumah pihak wanita, untuk memperjelas (mogintarang) dan membenarkan (mogintotu'u) tentang peminangan, bahwa peminangan sudah disampaikan berdasarkan kesepakatan seluruh anggota keluarga dari pihak laki-laki. Setelah mereka pulang karena sudah ada persetujuan dari keluarga pihak wanita, disampaikanlah rencana tersebut kepada guhanga in lipu' (orang tua kampung selaku pemangku adat). Ditetapkanlah waktu, kapan akan mengunjungi lagi keluarga pihak wanita bersama-sama dengan para guhanga. Cara menyamapaikan kepada guhanga in lipu' misalnya seperti berikut : "Barang nogama' don kon tala' na'anya, yo baeka bo de'emanbi' momali' kom bayag in singog, tonga' mobui pa bo maya' mongimbaloian kodia-dia don ing guhanga, simba niat ki inta na'a ing kombonu don in tota'au ing guhanga ." (= karena sudah menentukan suatu beban, maka walaupun belum menetapkan kesepakatan pembicaraan, namun alangkah baiknya bila kita bertandang lagi ke rumah pihak wanita bersma dengan orang-orang tua kampung, agar hal ini sudah sepengetahuan tua-tua kampung). Dari pihak wanita pun menyampaikan hal itu kepada guhanga tentang peminangan terhadap anak gadis mereka, bahwa pihak keluarga laki-laki sudah tiga kali berkunjung berkaitan dengan peminangan, yaitu :

1. Guman (meminang yang disampaikan oleh taba' dari pihak laki-laki)

2. Kunjungan orang tua pihak laki-laki untuk membenarkan (mogintotu'u) dan   memperjelas   (mogintarang) tentang peminangan itu.

3. Kunjungan pihak laki-laki dengan membawa serta para guhanga agar rencana pernikahan sudah diketahui oleh orang tua kampung.


Ketiga fase ini sudah harus diketahui oleh para guhanga, walaupun belum disampaikan kepada pemerintah (sangadi atau bobato dengan perangkatnya), supaya bila guhanga melihat ada pemuda yang sering berkunjung ke rumah gadis yang bukan tunangannya, maka para guhanga berhak menegur dia dengan mengatakan :
 "Iko nion dongka langow mako im baloi monia tuata, sedang kinotota'auanmu kon ayu'on im paloma in tua kom baloi tatua" (= engkau ini seperti lalat yang selalu berkunjung ke rumah itu pada hal engkau tahu bahwa di rumah itu ada seekor merpati). Juga ada teguran oleh guhanga kepada oarang tua si pemuda, misalnya dengan mengatakan : "Bo moiko nion ing kogadi' lolaki yo dia' don ambe mopota'au mai kong guhanga lipu'." (= kamu ini mempunyai anak laki-laki tapi tidak memberi tahu kepada tua-tua kampung).
Setelah pertunangan antara pemuda dan gadis telah diketahui oleh para guhanga, maka dibicarakanlah waktu untuk menetapkan kepastian pembicaraan (mopokobayag kon singog). Dalam hal ini para guhanga hanya menjadi saksi. Bila sudah ada kesepakatan tentang waktu pelaksanaan pernikahan antara kedua pihak, disaksikan oleh guhanga dan disampaikan kepada pemerintah, maka diumumkanlah kepada masyarakat bahwa : lelaki bernama … anak dari si … telah menyampaikan rencana menikah engan gadis bernama si … anak dari si … dan sudah ada persetujuan dari kedua belah pihak.

SERI KEBUDAYAAN I : ASAL MULA NAMA BOLAANG MONGONDOW



ASAL MULA NAMA BOLAANG MONGONDOW

Bolang Mongondow terdiri dari kata "bolaang" dan "mongondow". Bolaang atau golaang berarti : menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap karena terlindung oleh pepohonan yang rimbun. Dalam hutan rimba, daun pohon rimbun, sehingga agak gelap. Bial ada bagian yang pohonnya agak renggang, sehingga seberkas sinar matahari dapat menembus kegelapan hutan, itulah yang dimaksud dengan no bolaang atau no golaang. Desa Bolaang terletak di tepi pantai utara Bolaang Mongondow yang pada abad 17 sampa akhir abad 19 menjadi tempat kedudukan istana raja. Bolaang dapat pula berasal dari kata "bolango" atau "balangon" yang berarti laut (ingat : Bolaang Uki dan Bolaang Itang yang juga terletak di tepi laut). Mongondow dari kata "momondow" yang berarti : berseru tanda kemenangan. Desa mongondow terletak sekitar 2 km selatan Kotamobagu. Daerah pedalaman biasa juga disebut : rata Mongondow. Dengan bersatunya seluruh kelompok masyarakat yang tersebar, baik yang yang berdiam di pesisir pantai, maupun yang berada di pedalaman Mongondow di bawah pemerintahan raja tadohe (Sadohe), maka daerah ini menjadi daerah Bolaang Mongondow.

LETAK GEOGRAFIS

Daerah Bolaang Mongondow terletak di jazirah utara pulau Sulawesi memanjang dari barat ke timur dan diapit oleh dua kabupaten lainnya, yaitu Gorontalo (sekarang sudah menjadi propinsi) dan Minahasa. Secara geografis daerah ini terletak antara 100,30" LU dan 0020" serta antara 16024'0" BT dan 17054'0" BT. Sebelah utara dibatasi laut sulawesi dan selatan dengan laut Maluku.
Bolaang Mongondow adalah sebuah daerah (landschap) yang berdiri sendiri dan memerintah sendiri dan masih merupakan daerah tertutup sapai dengan akhir abad 19. Hubungan dengan luar (asing) hanyalah hubungan dagang yang diadakan melalui kontrak dengan raja-raja yang memerintah pada saat itu. Dengan masuknya pengaruh pemerintahan bangsa asing (Belanda) pada sekitar tahun 1901, maka secara administrasi daerah ini termasuk Onderafdeling Bolaang Mongondow yang didalamnya termasuk landschap Binatuna, Bolaang Uki, Kaidipang besar dari Afdeling Manado. Batas pesisir dengan daerah Gorontalo oleh dua buah sungai, yaitu di utara sungai Andagile dan di selatan oleh sungai Taludaa. Dengan daerah Minahasa juga dua sungai yaitu di utara sungai Poigar dan di selatan oleh sungai Buyat. Medan yang terlebar jaraknya sekitar 66 km yaitu antara sungai Poigar dan tanjung Flesko. Yang tersempit yaitu antara desa Sauk di utara dan desa Popodu di selatan.

TINJAUAN BUDAYA DALAMA BERBAGAI ASPEK KEHIDUPAN MASYARAKAT

Asal Mula penduduk

Penduduk Bolaang Mongondow berasal dari keturunan Gumalangit dan Tendeduata serta Tumotoibokol dan Tumotoibokat. Tempat tinggal mereka di gunung Komasaan (wilayah Bintauna). Makin lama turunan kedua keluarga itu semakin banyak, sehingga mereka mulai menyebar ke timur di tudu in Lombagin, Buntalo, Pondoli', Ginolantungan. Ke pedalaman di tempat bernama tudu im Passi, tudu in Lolayan, tudu in Sia', tudu in Bumbungon, Mahag, Siniow dan lain-lain. Peristiwa perpindahan ini terjadi sekitar abad 8 dan 9. Pokok pencaharian adalah berburu, mengolah sagu hutan, atau mencari sejenis umbi hutan, menangkap ikan. Pada umumnya mereka belum mengenal cara bercocok tanam.

Pimpinan kelompok Masyarakat


Setiap kelompok keluarga dari satu keturunan dipimpin oleh seorang bogani, pria atau wanita, yang dipilih dari anggota kelompok dengan persyaratan tertentu, antara lain : memiliki kemampuan fisik, (kuat), berani, bijaksana, cerdas, serta mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan kelompok dan keselamatan dari gangguan musuh. Berlaku sistem demokrasi. Bogani-bogani itu didampingi oleh para tonawat, yaitu orang-orang yang mengetahui perbintangan, ahli penyakit dan pengobatannya, disamping bertugas sebagai penasehat pimpinan. Setiap pekerjaan diselesaikan bersama untuk kesejahteraan seluruh anggota kelompok (gotong royong). Sebelum memulaikan sesuatu pekerjaan besar, dimusyawarahkan untuk mencapai kesepakatan. Pada saat-saat tertentu seluruh pimpinan kelompok para bogani) berkumpul untuk musyawarah. Merka sudah mengenal Ompu Duata (Yang Maha Kuasa ), yang berkuasa atas segala sesuatu dan mengadakan upacara ritual sebelum mengerjakan pekerjaan besar. Pada setiap permulaan suatu usaha, kegiatan atau pada saat upacara pengobatan, selalu Mongompu', menyebut nama Ompu Duata agar usaha mereka berkenan dan dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Berdasarkan kepercayaan mereka itu, maka pantang bagi setiap anggota masyarakat untuk melakukan hal-hal yang jahat, yang tidak berkenan kepada Ompu Duata. Juga mereka sudah memiliki semacam peraturan yang harus dipatuhi. Setiap pelanggar dikenakan sanksi antara lain dikucilkan atau disisihkan dari masyarakat.

DATU BINAGKANG RAJA MANADO (1664-1689)



Raja manado terakhir adalah Mokoagow, Loloda II yang Dengan gelar Datoe Binangkang yang memerintah dari Tahun 1664 sampai dengan 1689 Nama Raja – raja di atas bukanlah nama keluarga dan Fam karena Raja-raja Tersebut masih memeluk agama pribumi (Alifuru) belum mengenal budaya fam.

Dengan latar belakang situasi Geo-Politik dan Geo –Strategi Abad 16 – 17 yang memotori Negara Eropa untuk Melakukan Espansi ekonomi, politik dan militer, ini  juga yang mengharuskan Raja Loloda Mokoagow Sebagai Raja Manado untuk mengadakan Ronda laut Bolak balik, Boul, Kwandang, Amurang Manado, Likupang, Kema sampai belang dan Bouton di Teluk Tomini, Sementara di kota manado sendiri ada Bandar serta benteng kayu yang di buat oleh Gubernur VOC Simonn Cos yang berkedudukan  di Ternate dan menugaskan kepada Sersan Paulus Andriessen Sebagai kepala Bandar VOC di manado Kisah Raja loloda ini terus berlanjut Sampai pada perang Manado dan Malesung I tahun 1657 – 1663.

Referensi Diambil dari Buku Datoe Binankang Raja Mando 1664-1689, Pelopor Kemerdekaan Di Nusa Utara, Penulis Stella. B Mantiri, ditrbitkan di manado 1990

Redaksi – www.lipumogguyang.com

KERAJAAN BOLAANG [MONGONDOW] ABAD KE-VI & VII; LAYU SEBELUM BERKEMBANG.

Salah Satu Referensi tentang Kerajaan Bolmong Abad bke IV

Hendrik E. Niemeijner dalam tulisan, "Political Rivalry and Early Dutch Reformed Mission in Seventeenth Century North-Sulawesi", mengungkap bahwa pada abad ke-17 penduduk di pesisir semenanjung Utara Sulawesi Utara, seperti Manado dan Amoerang bersifat majemuk dan kosmopolit. Dalam soal agama Islam dan Katolik menjadi agama sejumlah pemuka dan kawula kerajaan Bolaang. Dalam kondisi yang demikian; secara terbatas berbagai gagasan dan cara pandang terhadap dunia baru masuk dan meresap dalam tubuh kerajaan.
Namun, sejak Spanyol tersingkir ke Philipina pada tahun 1650-an akibat kalah perang; dan VOC menancapkan kekuasaannya di Manado, para pemuka dan penduduk kerajaan yang beragama Islam dan Katolik dipaksa pindah menjadi Calvinis. Orang-orang Islam dibersihkan dari Amoerang; pemukimannya kosong ditinggal penduduk.
Pemuka dan rakyat Bolaang dipaksa pindah menjadi Calvinis [Protestan]. Kapitan Laut yang Katolik dan Jogugu yang Islam pindah menjadi Calvinis. Padahal kita tahu VOC tidak memilki tujuan untuk mewartakan iman. Tujuan VOC adalah berdagang. Sesuatu yang janggal terjadi di Bolaang; raja dipaksa menjadi Calvinis. Karena VOC tidak dilengkapi dengan perangkat pewarta iman [pedakwah], kebutuhan ruhani raja dan sejumlah keluarganya terbengkalai tidak mendapat bimbingan ruhani.
Inilah awal dari kondisi "lembam" [inersia] dalam tubuh sejarah dan kebudayaan Bolaang Mongondow. Berbeda dengan kerajaan-kerajaan di Gorontalo yang masih diperbolehkan menjadi Islam. Kondisi ini berlangsung hingga paruh pertama abad ke-19.

Salam.
Sumardi Arahbani

MANIKULU (NINOX IOS)

Manikulu / Ninox Iox (Burung Hantu Ambang)

Di Sulawesi Utara, Gunung Ambang lebih dikenal dikalangan para pendaki (pencinta alam) yang sekedar menikmati kawah belerang. Namun belakangan ini, tempat ini semakin terkenal hingga ke manca negara, tidak lain karena aktivitas mengamati burung.
Saat ini, Gunung Ambang menjadi salah satu tujuan kunjungan para penagamat burung yang khusus mencari Burung hantu yang diberi nama Cinnabar hawk-owl yang dalam nama ilmiahnya dikenal dengan Ninox ios. Bisa dikata Gunung Ambang identik dengan Ninox ios, karena setiap kali pengamat burung yang datang ke temapt ini hanya satu target utama mereka yaitu N. ios sementara jenis-jenis burung lainnya hanyalah bonus.
Sejarah Alam
Burung hantu mongondow (Ninox ios) ditemukan tahun 1985 di dekat Toraut, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, oleh seorang peneliti Belanda. Namun selama lebih dari sepuluh tahun berikutnya, burung ini masih belum mendapatkan nama ilmiah karena ada beberapa keraguan. Setelah tahun 1999 burung ini dianggap sebagai species yang berdiri sendiri dan mendapatkan nama ilmiah. November 1999, burung ini ditemukan di Cagar Alam Gunung Ambang, kali ini tertangkap oleh jaring penelitian WCS. Temuan ini menambah beberapa informasi (yang sebelumnya tidak ada) bagi jenis ini.
Burung ini berwarna coklat kekuningan dengan bintik-bintik putih besar di bahu dari sayap. Matanya berwarna kuning mencolok dan kakinya terlihat ramping. Berdasarkan apa yang diketahui saat ini, Burung hantu mongondow adalah endemik untuk Sulawesi Utara. Burung ini berkerabat dekat dengan burung hantu lain yang juga endemik, yaitu punggok oker (Ninox ochracea) yang terdapat di hutan dataran rendah seluruh Sulawesi. Sangat sedikit yang diketahui tentang ekologi burung ini, akan tetapi kedua penemuan burung ini terjadi di hutan primer pada ketinggian 1.200 sampai 1.450 m di atas muka laut.
Dikalangan masyarakat Bolaang Mongondow yang berdomisi di sekitar Gunung amabang,Burung hantu mongondow (Ninox ios), di kenal juga dengan nama Manikulu, Burung ini menurut warga sekitar Gunung Ambang di Anggap sebagai Burung Pemberi Tanda atau Pesan tentang gejala-gejala kejadian Alam yang akan terjadi nantinya
"Ki Lapang"Maskot KPU Bol-TIM
Status
Nyaris tidak ada yang diketahui mengenai status pelestarian jenis ini. Diperlukan survei lanjutan di seluruh Sulawesi untuk mengetahui dengan pasti statusnya. Saat ini yang diketahui hanyalah bahwa mereka ditemukan di daerah pegunungan di atas ketinggian 1.200m, di Sulawesi Utara. Jadi burung ini mungkin terdapat di gunung Klabat, Tangkoko dan Duasudara, serta jajaran pegunungan Tentolo-Matinan.

Ada dua alasan yang menyebabkan perlunya penelitian terhadap burung ini. Pertama, jenis ini tampaknya mempunyai lingkup yang terbatas. Dengan demikian, usaha untuk menyelidiki status populasi dan ekologinya harus dijadikan prioritas utama. Kedua, perburuan mungkin saja bukan merupakan ancaman utama karena kebanyakan perburuan menggunakan jerat dan perangkap yang dipasang di atas tanah. Namun, di Cagar Alam Gunung Ambang dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, para pemburu yang memasang jaring di atas tanah untuk menangkap kelelawar bisa menjadi ancaman bagi burung ini. Jika populasinya kecil, maka kehilangan beberapa ekor saja dapat berarti ancaman serius bagi pelestariannya di masa mendatang.
Dari keunikan Burung hantu mongondow (Ninox ios) atau di kenal masyarakat dengan nama manikulu, maka dalam Pemiliha Umum Kepala Daerah Bolaang Mongondow Timur 2015 di jadikan maskot dengan nama Ki Lapang” Lagapan Ambang yang berarti burung yang hidup di daerah pegunungan ambang 
Redaksi – www.Lipumogoguyang.com

Bolaang Mongondow Timur Dalam Bingkai Sejarah Kerajaan Mongondow (oleh : T. Mamonto)


Bolaang Mongondow Timur adalah satu kesatuan wilayah DOB baru yang dimekarkan pada tahun 2006. Daerah ini juga adalah bagian dari setiap gerak Sejarah Mongondow yang pernah terekam baik secarah Histiogrrafi Kolonial maupun hasil diskusi dengan beberapa tokoh yang dianggap mengetahui setiap detil Sejarah Mongondow. Dimulai dari Bogani Inde' Dou', Desa Togid, Tutuyan, Tombolikat,  danau Mooat, sampai pada Dakwah Islam. Rekam jejak daerah ini tak lepas dari perjalanan Abo' Sadohe.

Siapa yang tidak mengenal Abo' Sadohe atau Raja Tadohe'. Seorang pemimpin di dekade abad ke-15 yang sekaligus akhir dari pengenalan gelar pemimpin dari Punu ke Raja. Abo' Sadohe adalah putera raja yang menurut beberapa sumber ditemukan terdampar di Pantai Togid oleh Inde' Dou'. Inde' Dou' sendiri ialah seorang Bogani yang mendiami wilayah Timur Bolaang Mongondow, berkuasa sampai kewilayah Belang (pasan dalam kelompok minahasa). Pertemuan antara Abo' Sadohe dan Inde' Dou memperkenalkan kita dengan kampung yang sekarang di kenal dengan nama Togid. Pengakuan Abo' Sadohe sebagai anak dari seorang raja mongondow harus dibuktikan dengan pemotongan kayu Togid sehingga Inde' Dou yang waktu itu meminta hal tersebut percaya terhadap Abo' Sadohe. Selanjutnya dengan proses interaksi sosial  antara Inde' Dou dan Abo' Sadohe melahirkan beberapa kampung disekitar kampung Togid (sumber Von Den Vorsten Von Bolaang Mongondow dan hasil wawancara dengan tokoh adat).

Selain itu juga wilayah Bolaang Mongondow Timur kembali menancapkan eksistensinya sebagai bagian dari bingkai sejarah mongondow dengan peristiwa pengukuhan Abo' Sadohe di danau Mooat yang dilakukan oleh Inde' Dou sebagai pemimpin Bogani pada saat itu dengan mengorbankan seekor ayam sebagai ritual pengangkatan seorang Raja yang baru.

"Salam Tabi Bo Tanob"

 
Copyright © 2016 ,. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template Creating Website and CB Blogger Create by Jagowebsite